Nostalgia
Ia meletakkan tas ranselnya yang penuh barang di bagasi di atas tempat duduknya, lalu pandangannya beralih ke kursi yang akan ia duduki.
Sambil tersenyum, ia duduk dan memasang headset lalu menyalakan lagu dari dalam
ponselnya. Menikmati alunan lagu sambil melihat kartu pos yang sedari tadi ia
simpan di dalam kantung jaketnya. Ia bergumam,
“Jogja...
Tunggu aku pulang..”
*
Kereta jurusan Solo itu singgah sementara di
Jogja untuk mengangkut dan menurunkan beberapa penumpang. Lelaki yang telah
menaruh tasnya di salah satu pundaknya itu, turun dari kereta sambil tersenyum. Dengan semangat, ia langkahkan kakinya keluar
peron dan meneliti tiap jengkal stasiun yang amat ia rindukan itu. Masih seperti dulu. Tak banyak berubah.
Puas mengenang, lelaki itu berjalan ke pintu
masuk yang juga merupakan pintu keluar. Taksi dan becak menawarinya tumpangan,
tapi ia tolak secara halus.
Ia ingin berjalan santai dan mengingat lagi
memori yang pernah hampir ia lupakan sebelum pulang ke rumah nanti. Keluar area Stasiun Tugu, lelaki itu berbelok
ke kanan dan mulai menyusuri jalan yang selalu menjadi idola masyarakat. Ia sempat terhenti untuk sekedar melihat papan
nama jalan bertuliskan ‘Jl. Malioboro’ yang pernah menjadi saksi bisu
kekonyolannya dahulu.
Hari mulai gelap dan sepanjang Jalan Malioboro
bertambah ramai. Pedagang kaki lima yang menjajakan sajian khas, mengundang
banyak orang untuk singgah sebentar untuk merasakan suasana yang tak
terlupakan. Melihat orang-orang yang duduk bersila di
salah satu warung lesehan, musisi jalan mulai menghibur tanpa ragu melagukan apa
yang hendak mereka sampaikan. Ekspresi bahagia bercampur haru tergambar jelas
di wajah lelaki itu.
Sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti
ini. Lelaki itu mendekati pengamen yang baru saja mendendangkan lagu
kesukaannya dan ikut bernyanyi diiringi gitar kecil yang dibawa pengamen itu.
“Cinta...
Akan kuberikan bagi hatimu yang damai...”
“Cintaku
gelora asmara seindah lembayung senja..”
“Tiada
ada yang kuasa, melebihi indahnya nikmat bercinta...”
Puas bernyanyi dan memberi pengamen itu
beberapa lembar uang ribuan, lelaki itu melanjutkan perjalanannya ditemani deru
kendaraan bermotor hingga berhenti di depan benteng yang terkenal di kalangan
penduduk lokal.
Benteng Vredeburg yang berseberangan dengan istana putih itu nampak elegan dengan cahaya menerangi tiap sisi
tertentu.
Lelaki itu berandai.
Andai dia masih disini, aku
akan merasakan kembali kehangatan yang dulu sempat ada. Aku akan merasakan
keceriaan yang dulu sempat ada. Walau kini dia tidak akan
kembali, senyumnya akan selalu hadir kala mengingat ini adalah kota
kebanggaannya. Maka, izinkanlah aku ‘tuk selalu hadir di kotamu ini dan bernostalgia
kenangan manis kita dulu.
Kota ini hadirkan senyummu abadi.
Comments
Post a Comment