Support System

Ramai terlihat panitia yang sedang mengerjakan tugasnya masing-masing di sebuah gedung pertunjukan. Di salah satu ruangan di belakang panggung teater, Aira, koordinator divisi kostum, sedang mengecek kelengkapan kostum yang akan dipakai oleh anggota teater nantinya. Pulpen itu terus bergerak mencentang daftar kostum yang ada di dalam ruangan tersebut. 


Ting. Notifikasi smartphone-nya berbunyi. Aira menaruh papan daftar dari tangannya dan meraih smartphone di atas meja rias. 


[Yohan: Ai... I need you


Setelah melihat notifikasi tersebut, Aira segera meninggalkan ruangannya. 

** 

"Han, Han nggak papa?" Segera setelah ia sampai di ruangan Yohan berada, Aira menanyakan keadaannya. Wajah Yohan tampak kusut dan lelah, lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. 

"Ai..." Yohan meraih tangan Aira dan menaruh kepalanya di pundak Aira.

"Han, capek?" Yohan mengangguk. Banyak hal yang terjadi dalam kepanitiaan ini membuat Yohan kurang istirahat. Bahkan dia tidak tidur semalaman karena melakukan cross check bersama panitia inti lainnya, sebelum acara pembukaan pameran dan penampilan teater berlangsung malam ini. 

Yohan memeluk Aira erat seakan hari ini adalah hari terakhirnya bertemu Aira. Aira membalas pelukan Yohan, menepuk-nepuk pelan dan mengusap punggungnya, memberikan rasa nyaman pada Yohan. 

"Istirahat dulu, ya? Duduk dulu ayo, sini." Aira menuntun Yohan untuk duduk di sofa.

"Han, mau minum dulu?" Yohan bergeming. Ia kembali memeluk Aira meski mereka sudah dalam keadaan duduk. Aira memperbaiki posisinya yang dipeluk Yohan agar merasa lebih nyaman. Tadinya, Aira akan melepaskan pelukannya, tetapi karena melihat Yohan yang sepertinya akan langsung pingsan bila tidak ditopang, Aira tetap diam di posisinya. 

Mereka berbagi diam. Di dalam ruangan yang luas itu, ditemani cahaya lembut matahari yang menerobos jendela, yang menyinari mereka. Momen seperti ini sangat menenangkan. Sambil mendengar riuh rendah panitia dari kejauhan, mereka tetap berdiam, tak merasa kesepian. 

Momen seperti ini sangat menyamankan. Istirahat sejenak sebelum memulai kembali kesibukan, ditemani seseorang yang sangat penting, bagi Yohan, bagi Aira. Tebersit senyum di wajah Yohan. Aira memang tidak dapat melihatnya, tapi pergerakan pipi Yohan terlalu kentara. Aira pun ikut tersenyum sambil mengeratkan pelukannya. 

** 

Sudah hampir jam tujuh malam, sepuluh menit sebelum acara pembukaan dimulai. Aira sedang bersiap-siap untuk memakai kaus panitianya. Ia merutuki dirinya yang salah memesan kaus tersebut. Seharusnya Aira memesan kaus berlengan panjang, tetapi yang ada di hadapannya sekarang adalah kaus berlengan pendek.  

Sempat ia protes kepada koordinator divisi logistik, meminta cek ulang pesanan kausnya. Namun Aira kalah telak, ternyata ia mencentang kotak pilihan kaus berlengan pendek di formulir pemesanan itu. Yah, mau bagaimana lagi, Aira menerima kausnya dengan wajah masam. Ada sedikit rasa malu, tapi masalahnya bukan itu. Aira tidak membawa manset atau kaus lengan panjang untuk dipakai di bawah kaus panitianya. 

Aira tidak terbiasa memakai kaus berlengan pendek. Tidak nyaman—tepatnya. Pagi ini ia berangkat hanya dengan memakai hoodie, jelas tidak mungkin ia memakai kaus itu diluar hoodie. Ia mencari sesuatu seperti manset atau deker yang, barangkali, tidak terpakai di antara kostum-kostum di ruangannya. 

Nihil. Waktu acara pembukaan tinggal 3 menit lagi, dan hanya Aira yang berada di ruang kostum. Mata Aira mencari lebih teliti sekali lagi ke sekeliling ruangan itu. 

Oh?  

Aira tersenyum. Ada sebuah cardigan berwarna abu tergantung di belakang pintu. Tanpa pikir panjang, Aira mengambil cardigan itu, memakainya dahulu, dan merangkapnya dengan kaus panitia. Cara yang aneh, memang, tapi bila cardigan itu dipakai di luar, pengunjung tidak akan mengenalinya sebagai panitia. 

Aira puas melihat dirinya di depan kaca. Cardigan itu memberikannya rasa nyaman. Samar-samar, aroma parfum Yohan menguar dari cardigan itu. 

** 

"...Terima kasih kepada pimpinan..." Di perjalanannya menuju Hall utama, Aira mendengar suara Yohan memberikan ucapan terima kasih, bagian akhir dari sambutannya.  

Oh, Yohan sedang memberikan sambutannya ternyata. 

Aira mempercepat langkahnya. 

"...Selanjutnya saya ingin berterima kasih dan mengapresiasi teman-teman saya segenap panitia yang sudah bersama-sama bekerja tanpa lelah..." 

Yohan masih memberikan sambutannya ketika Aira sampai di pintu samping Hall

"...dan yang terakhir, untuk Aira."  

Aira berhenti. Ia terkesiap. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Ada sesuatu yang memenuhi hatinya. Wajahnya perlahan memerah. Senyumnya mengembang, tak pernah ia merasa sebahagia itu. 

Aira mendorong pintu dan segera mendekati panitia lain yang sedang melihat Yohan di atas podium. 

Teman-teman Aira, sesama panitia, langsung melihat ke arahnya dan tersenyum. Beberapa dari mereka menggodanya dan yang lain tersenyum penuh makna. Aira menanggapi teman-temannya sambil berbisik agar tidak mengganggu acara. Ia masih tersenyum, sambil melihat Yohan turun dari podium.  

Yohan kembali ke kerumunan panitia di samping podium. Panitia yang berada di dekat Yohan langsung menggodanya, "Cie, ciee.. Yohan ciee,"  

"Terima kasih yang terakhir buat siapa tuuh," "Aaah iri deh sama Airaaa," "Aira mana nih, kok nggak keliatan?" 

Yohan hanya tersenyum menanggapi mereka. Sekarang giliran Yohan yang mencari keberadaan Aira. Matanya menyisir para panitia di depannya.

Saat pandang Yohan dan Aira bertemu, senyum Aira kian lebar. Aira melambaikan tangannya kepada Yohan untuk memberitahukan tempat ia berada. Pipi Yohan memerah. Senyumnya juga merekah.  


Dari kejauhan, mata mereka beradu. Pandangan mereka penuh, seperti sedang memberikan dukungan satu sama lain. Seakan berbisik, 


"Jangan khawatir, aku ada di sini."


__________

Comments

Popular Posts